Sebuah kebijakan seorang Bupati yang tidak didukung oleh Bappekab selaku perancang anggaran dalam menentukan nilai nominal sebuah kebijakan , maka jangan harap kebijakan tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana bisa berjalan jika tidak didukung dengan adanya anggaran. Dari sinilah peran Bappekab dalam menentukan ada dan tidaknya serta besar kecilnya anggaran yang dibutuhkan.
Banyak yang terjadi, sebuah kebijakan yang terlontar secara spontan dari seorang Bupati, namun kebijakan tersebut sebagian besar tidak terealisasi. Kenapa terjadi demikian ? Karena, tiadanya anggaran yang tersedia atau yang mendukungnya. Sehingga kebijakan tersebut menjadikan Bumerang yang sewaktu-waktu akan menyerangnya.
Selama ini memang banyak masyarakat menilai uang yang dijanjikan seakan-akan dari kantong pribadi Bupati. Padahal, uang/anggran yang dijanjikan berasal dari APBD. Jadi selama ini banyak masyarakat keliru dalam penafsiran.
Tidak jalannya sebuah kebijakan semacam ini, mungkin karena lemahnya koordinasi, antara penyampai sebuah kebijakan dengan perangcang kebijakan itu sendiri (Bappekab red).
Semestinya hal ini tidak perlu terjadi, jika sebelum menentukan sebuah kebijakan, dilakukan terlebih dahulu koordinasi terkait apa yang akan menjadikan fokus dari kebijakan yang akan disampaikan pada rakyat. Artinya didalam menetukan sebuah kebijakan, haruslah terfokus pada kebijakan yang sudah jelas ada dukungan anggarannya. Sehingga citra dan nama baik Bupati dimata rakyatnya, selalu baik dan selalu mendapatkan dukungan dalam melaksanakan tugas sebagai amanah yang diembannya.
Fenomena ini terjadi, manakala Bupati menjanjikan sebuah kebijakan secara spontan pada masyarakatnya. Hal ini, biasanya disampaikan pada acara dialog solutif.
Masyarakat dalam setiap Dialog Solutif , selama ini bisanya hanya memohon dan meminta bantuan sesuatu Pada Pemerintah Kabupaten Jember. Anehnya, permohonan tersebut sebagian besar selalu mendapatkan tanggapan positif serta di janjikan akan dipenuhinya. Pada hal, belum tentu ada anggaran yang mendukungnya.
Dan akhirnya yang menjadikan korban adalah SKPD yang ditunjuk sesuai kebutuhan masyarakat yang di janjikan. Yang jelas mereka bertanya-tanya dalam hati, diambilkan dari pos mana lagi , jika kebutuhan masyarakat tersebut harus dilaksanakan.
Karena SKPD adalah kepanjangan tangan dari Bupati, maka seberat apapun harus diusahakan dan harus tetap menjaga nama baik Bupati dan Pemerintah Kabupaten Jember dimata rakyatnya.
Saat ini, lagi marak-maraknya masyarakat menagih janji-janji tersebut. Baik melalui media elektronik (radio) maupun didalam dialog solotif itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan maka kepercayaan rakyat dan kharisma Bupati sedikit demi sedikit akan pudar.
Untuk mengatasi hal tersebut agar tidak terjadi, maka selayaknya jika terjadi pertanyaan dari rakyat yang sifatnya spontan di dialog solutif, janganlah dijawab secara spontan pula. Lakukan koordinasi terlebih dahulu pada perancang anggarang (Bappekab) yang lebih tahu pos-pos dimana sebuah kebijakan maupun program yang sudah ada ketentuan anggarannya.
Selama ini Bappekab kurang bijak, jika tahu anggaran tidak tersedia, namun berdiam diri, tanpa melakukan koordinasi pada pelaksana kebijakan (Bupati). Sehingga terjadi janji-janji semu yang tiada kepastian.
Semestinya Bappekab jauh sebelum dialog solutif dilaksanakan, Bappekab harus memberikan masukan pada Bupati tentang fokus kebijakan apa yang akan disampaikan pada rakyat. Sehingga jelas, jika kebijakan tersebut sudah ada plot-plot anggaran yang mendukungnya.
Jangan seperti saat ini, banyak SKPD menjadi korban kibijakan yang nggak jelas dan belum tentu ada anggarannya yang harus dilaksanakan.
SKPD sebagai penerima pulung, akan merasa pusing dan serbasalah. “ Tidak dilaksanakan itu perintah atasan, dilaksanakan tidak ada anggaran yang mendukungnya”. Artinya, anggaran yang ada, sudah digunakan pada pos-pos yang ditentukan jauh sebelumnya. Dan secara moral, kejadian ini menjadikan beban pada SKPD bersangkutan.
Seandainya Kebijakan tersebut didukung Bappekab dalam penysunan anggaran, mungkin bagi SKPD siap melaksanakannya. Jika tidak adanya dukungan anggaran yang tersedia, mungkin akan terjadi adanya penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran pada pos-pos anggaran yang ada, yang harus dilaksanankan oleh SKPD bersangkutan. Sehingga kelak kemudian hari dalam LPJ akan terjadi penyimpangan.
Ma’af, … apa lagi Bupati dalam dialog solutif, entah itu serius atau senda gurau beliau selalu memberikan peluang pada rakyat melakukan demo atau untuk menagih janji pada SKPD yang dibebani kebijakan tersebut. Artinya jika SKPD bersangkutan tidak dapat melaksanakannya maka rakyat bisa melakukan demo atau menagih janji ke SKPD yang bersangkutan. Namun mudah-mudahan hal ini tidak terjadi. Dan hanya sebatas senda gurauan belaka.
Yang kami khawatirkan , karena yang bicara seorang Bupati, mungkin rakyat akan berpikir pula akan kebenaran kata-kata tersebut.
Ironis memang, disatu sisi sudah kadung janji pada rakyat, disisi lain Bappekab tidak mendukung dalam penyediaan anggrannya. Lalu siapa yang salah jika demikian…….!
Oleh karena itu “janganlah mudah berbuat janji. janji memang sangat mudah untuk disampaikan, namun berat untuk dilaksanakan. “Jangan pandai mengobral janji, jika hanya untuk kepentingan sesaat”. Agama sudah mengingatkan, Janji adalah hutang , dan harus dipertanggung jawabkan dihadapanNYA kelak.
Untuk itu harapan kami model dialog solutif harus dirubah, sehingga Bupati sebagai nara sumber, tidak tersudutkan mana kala terjadi pertanyaan yang disampaiakan rakyatnya atau penagihan janji-janji sebelumnya. Semoga kritikan ini menjadikan evaluasi dalam pelaksanaan di dialog solutif yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar